Judul:
Peta Keuangan Mikro Syariah Indonesia
Penulis:
Darsono | Ali Sakti | Ferry Syarifuddin | Enny Tin Suryanti
Editor:
Muhammad Syafii Antonio
Penerbit:
Tazkia Publishing & Bank Indonesia Institute
Cetakan I:
November 2018
November 2018
Spesifikasi:
Hard Cover Matalising, Spot UV, EMbos, Bookpaper 55gram, Hal 26 + 429, Full Color
ISBN:
978-602-7540-18-7
Harga:
Rp300.000
(belum termasuk ongkos kirim)
(belum termasuk ongkos kirim)
Pemesanan:
I: tazkiapublishing
T: @tazkia_tiu
F: Tazkia Tiu
T: +6221 8378 3638
M: +6281 8054 4143
M: +6281 8054 4143
RINGKASAN EKSEKUTIF
Lembaga keuangan mikro menjadi tidak terpisahkan dari masyarakat miskin dan pelaku usaha kecil dan mikro di belahan dunia manapun sebagai penyedia akses keuangan dalam rangka pemenuhan kebutuhan mereka. Munculnya keuangan mikro itu sendiri didasari oleh banyak latar belakang dan motif. Mulai dari kebutuhan masyarakat, keberagaman adat budaya, program pemerintah, maupun sebagai pelengkap infrastruktur sebuah institusi seperti institusi pendidikan, pondok pesantren maupun institusi lainnya.
Secara kelembagaan, keuangan mikro
disimpulkan memiliki dua tujuan utama yang mencerminkan orientasi, yaitu
menjadi lembaga yang efisien dan mandiri (financial
self-sufficiency) dan berkontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan (poverty alleviation). Lembaga keuangan
mikro yang bertujuan finance
self-sufficiency disebut sebagai lembaga yang berorientasi komersial. Sementara
itu yang bertujuan pada pencapaian poverty
alleviation digolongkan sebagai lembaga yang berorientasi sosial. Paradigma
yang berkembang selama ini memandang jika orientasi komersil (institutionist) dan orientasi sosial (welfarist) dalam keuangan mikro tidak
dapat berjalan beriringan. Paradigma
institutionist cenderung lebih fokus pada aspek kemampuan usaha lembaga
keuangan mikro yang bersifat internal. Sementara itu, paradigma welfarist cenderung lebih fokus pada
implikasi program keuangan mikro bagi masyarakat sebagai klien yang bersifat
eksternal. Di dalam praktiknya, Indonesia memiliki inovasi dalam menyeimbangkan
kedua paradigma tersebut tanpa mengorbankan tujuan satu dan lainnya. Baitul Maal Wat Tamwil adalah lembaga
keuangan mikro syariah yang terbukti dalam menjalankan orientasi komersil
melalui kegiatan tamwil-nya dan orientasi
sosial melalui kegiatan maal-nya.
Secara umum, Indonesia memiliki khazanah
lembaga keuangan mikro yang kaya. Sebelum kini kita mengenal Koperasi, Lembaga
Keuangan Mikro, Badan Kredit Desa, Lumbung Pitih Nagari, LKM Agribisnis, dan
lembaga keuangan mikro lainnya, kegiatan pembiayaan dan pendanaan sudah terjadi
sebelum semua itu terlembagakan. Seiring berjalannya waktu, sejalan dengan
kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan motif yang beragam dan berujung
pada perlunya pengaturan, maka sarana-sarana pembiayaan dan pendanaan tersebut
perlu dilembagakan. Dengan demikian, dinamika keuangan mikro di Indonesia dapat
dilihat dari peta lembaga keuangan mikro baik konvesional maupun syariah di
Indonesia.
Lembaga keuangan mikro yang beroperasi di
Indonesia sangat beragam, namun mayoritas berbadan hukum koperasi. Koperasi
sebagai sokoguru perekonomian nasional merupakan lembaga keuangan mikro yang
selaras dengan karakter dan budaya Indonesia. Azas kekeluargaan dan gotong
royong menjadi landasan koperasi dalam memenuhi kebutuhan anggotanya. Seiring
dengan dinamika dan perubahan tatanan ekonomi dan sosial masyarakat, maka
kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi juga semakin berkembang. Meski
demikian, kegiatan intermediasi simpan-pinjam yang dilakukan oleh koperasi
tetap memiliki ciri khas, bentuk dan sistem tersendiri. Ada beberapa yang
menggunakan sistem koperasi secara umum, dan beberapa lainnya menggunakan
sistem yang sesuai prinsip syariah, dengan menggunakan akad bagi hasil. Dengan
demikian, untuk mengelola koperasi dengan baik perlu adanya pengaturan,
pengawasan, dan penilaian kinerja seperti yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi
dan UKM melalui Undang-undang tentang Perkoperasian dan Otoritas Jasa Keuangan melalui
Undang-undang tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Selain koperasi, ada pula lembaga keuangan mikro
berbasis daerah yang diinisiasi oleh pemerintah daerah dan keswadayaan
masyarakat. Eksistensi lembaga keuangan mikro yang berbasis daerah di Indonesia
sangat variatif. Beberapa lembaga keuangan mikro peninggalan masa Belanda yang
kemudian dikembangkan oleh pemerintah, seperti Badan Kredit Desa (BKD), Badan
Kredit Kecamatan (BKK), PDPK (Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan), BUPK
(Badan Usaha Perkreditan Kecamatan), Lembaga Kredit Kecamatan (LKK), Lumbung
Kredit Pedesaan (LKP), Badan Karya Produksi Desa (BKPD). Adapula lembaga
keuangan mikro yang dikembangkan oleh swadaya masyarakat, seperti: Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul
Tamwil Muhammadiyah (BTM), Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Pra-koperasi, Credit Union, dan lainnya. Pada masa Indonesia
Baru, lembaga keuangan mikro berbasis daerah direalisasikan dalam bentuk program
pemerintah seperti Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM), PT.
Lembaga Keuangan Mikro (PT. LKM), Usaha Ekonomi Kelurahan
Simpan Pinjam (UEK-SP), Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP), dan Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP).
Semakin berkembangnya usaha mikro-kecil dan
tingginya kebutuhan jasa pelayanan keuangan mikro, bentuk pelayanan keuangan
mikro terus bertransformasi, salah satunya adalah diadopsinya produk dan
pelayanan keuangan mikro oleh perbankan. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
merupakan lembaga keuangan mikro berbasis perbankan yang didirikan berdasarkan
kebutuhan masyarakat kecil terhadap pinjaman dalam upaya membebaskan masyarakat
golongan menengah ke bawah dari jeratan rentenir. Kebutuhan akan sistem
berbasis syariah mengantarkan kehadiran Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagai
LKM berbasis bank yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Selain itu, sebagai bangsa yang memiliki
ikatan sosial yang kuat dengan tradisi yang kaya akan adat dan budaya, membuat
bentuk lembaga, operasi dan produk pelayanan jasa keuangan mikro di Indonesia
dipengaruhi oleh lingkungan tempat di mana lembaga keuangan mikro beroperasi,
khususnya oleh adat dan budaya. Artinya lembaga keuangan mikro menjadi bagian
dari sistem adat dan budaya masyarakat lokal. Keberadaan lembaga keuangan mikro
yang dimiliki adat dimotivasi oleh tujuan mewujudkan komunitas adat yang saling
peduli, membantu dan saling menyejahterakan. Pengaruh budaya dan adat secara
langsung dapat terlihat dalam aplikasi Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera
Barat dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali. LPN menjadi bagian dari
Pemerintahan Nagari yang arah kebijakan pengembangan LPN juga dipengaruhi oleh
para pemimpin adat. Begitu juga dengan LPD, di mana secara kelembagaan LPD
dimiliki oleh Desa Pekraman dalam rangka menyejahterakan warga dari beberapa
desa yang berhimpun dalam Desa Pekraman.
Bentuk lembaga keuangan mikro juga
dipengaruhi oleh kebutuhan pemangku kepentingan, seperti lembaga pendidikan
yang membutuhkan pelayanan jasa keuangan bagi komunitas yang berada dalam
lembaga pendidikan tersebut dan dinamika aktivitas pendidikan, kini pelayanan
keuangan sudah dapat ditemui di institusi pendidikan. Aktivitas belajar mengajar
memerlukan fasilitas pendukung seperti infrastruktur, sarana prasarana belajar
mengajar, dan sebagainya. Selain itu biaya pendidikan yang tidak sedikit juga, menunjukkan
kebutuhan akan dana di perguruan tinggi cukup besar. Beberapa lembaga pendidikan
memiliki Mini Bank sebagai
laboratorium pembelajaran keuangan mikro. Secara lebih konkret, beberapa lembaga
pendidikan memiliki Baitul Maal wat
Tamwil atau Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS), baik di
perguruan tinggi maupun di Pondok Pesantren. Selain sebagai sarana pendidikan,
keberadaan lembaga keuangan mikro berbasis institusi pendidikan juga memiliki
potensi besar sebagai lembaga yang mengoptimalkan fungsi intermediasi keuangan
dalam melayani kebutuhan jasa keuangan di komunitas akademika.
Ikatan yang kuat antara masyarakat dan
lembaga memberikan pelajaran bahwa dalam jangka panjang, bukan hanya transaksi
keuangan yang terjadi di lembaga keuangan mikro, akan tetapi penguatan jaringan
antar anggota lembaga keuangan mikro dan antar lembaga keuangan mikro.
Optimalisasi ikatan sosial, peningkatan moralitas dan pengetahuan agama oleh
BMT/KSPPS menjadi pendekatan yang inovatif dalam praktik keuangan mikro dalam
rangka mengeluarkan masyarakat dari lingkaran kemiskinan. Aktivitas sosial yang
dilaksanakan BMT/KSPPS mentransformasi masyarakat yang sebelumnya terasing dari
kehidupan sosial (socially excluded) hingga
dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dan memiliki kemauan sekaligus kemampuan
menjalankan usaha. Selain itu, inovasi peningkatan ikatan komunitas melalui pendekatan
tanggung renteng wanita yang dilakukan lembaga keuangan mikro memberikan
pelajaran bahwa wanita adalah salah satu simpul keluarga dalam hal pengentasan
kemiskinan. Peran wanita yang sebagian besar sebagai pengatur keuangan dalam
rumah tangga menjadi peluang pembinaan dan pemberian akses keuangan demi perbaikan
kualitas hidup keluarga. Pendekatan tanggung renteng juga bermanfaat bagi
lembaga keuangan mikro dalam memitigasi risiko yang melekat pada masyarakat
miskin atau kelompok usaha mikro-kecil.
Sementara itu, ikatan adat, budaya dan
agama dalam keuangan mikro pada pendekatan lembaga keuangan mikro seperti yang
dipraktikkan oleh Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali dan Lumbung Pitih
Nagari (LPN) di Sumatera Barat, memberikan pelajaran berharga bahwa masyarakat
mampu secara bergotong royong menyediakan kebutuhan keuangan dan ekonominya yang
diintegrasikan dengan mekanisme adat tempatan. Perangkat adat dalam hal ini
sangat mendukung keberlangsungan lembaga keuangan mikro berbasis adat. Kepercayaan
yang dipegang teguh serta sanksi sosial dan adat yang berat atas ketidaklancaran
dalam melakukan pengembalian pinjaman atau pembiayaan akibat moral hazard, menjadi kontrol sosial sekaligus
bentuk mitigasi risiko bagi lembaga keuangan mikro.
Gerakan masyarakat atau yang kita sebut
sebagai gerakan bottom up dalam
melahirkan keuangan mikro kemudian kini didukung dengan inisiasi pemerintah
dalam menciptakan program penuntasan kemiskinan dan inklusi keuangan melalui
penyediaan jasa layanan keuangan mikro. Melalui kementerian terkait, pemerintah
pusat mewujudkan program tersebut ke dalam lembaga keuangan mikro berbadan
hukum sesuai dengan sasaran masyarakat yang dituju. Pemerintah berfokus pada
kelompok masyarakat potensial produktif dalam menjalankan usaha seperti
kelompok tani, nelayan, masyarakat desa, dan usaha kecil mikro lainnya. Beberapa
yang dibentuk di antaranya LKM Agribisnis oleh Kementerian Pertanian, Kelompok
Usaha Bersama oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan sebagainya. Selain
inisiasi top down dari pemerintah,
BUMN juga ikut mengambil peran dalam pelayanan keuangan mikro melalui PNM UlaMM
bagi usaha mikro serta PNM Mekaar bagi kelompok wanita prasejahtera.
Dari sekian banyak pelajaran berharga dari
lembaga keuangan mikro syariah di Indonesia, masih ada pekerjaan rumah yang perlu
diselesaikan. Peluang pengembangan keuangan mikro khususnya mikro syariah di
Indonesia masih sangat terbuka lebar. Sebagai negara mayoritas muslim di dunia,
Indonesia memiliki peranan besar sebagai pelaku sekaligus pasar keuangan mikro
syariah di dunia. Besarnya potensi penghimpunan dana baik sosial maupun
komersial merupakan keunggulan kompetitif lembaga keuangan mikro syariah. Selain
itu kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menjadi modal pengembangan
keuangan mikro syariah di Indonesia dalam hal mengintegrasikan aktivitas dan
peluang usaha dalam sebuah jaringan usaha kecil mikro berbasis lembaga keuangan
mikro syariah.
Akan tetapi besarnya pelaku keuangan mikro
syariah yang ada di Indonesia menimbulkan tantangan tersendiri terkait kualitas
sumber daya manusia. Sebuah industri tidak akan berkembang tanpa didukung
dengan SDM yang handal dan profesional. Kompetensi SDM industri keuangan mikro
syariah Indonesia perlu terus ditingkatkan agar dapat menghasilkan industri
yang sehat, kuat dan dapat bersaing. Pada pratiknya, tidak mudah menjalankan
sebuah lembaga keuangan mikro syariah sekaligus menjaga kemurnian penerapan
syariah itu sendiri dalam aktivitas bisnis / sosial yang dijalankan. Kondisi
lapangan dan kebutuhan masyarakat yang begitu dinamis memberikan tantangan
tersendiri dalam penjagaan prinsip-prinsip syariah dalam praktik keuangan mikro.
Oleh karena itu, diperlukan SDM pengawas syariah yang kompeten memberikan pendampingan
dan pengawasan syariah untuk menjaga agar penerapan syariat Islam tetap dalam
koridornya.
Pada fase dimulainya regulasi lembaga
keuangan mikro hingga saat ini, aplikasi dan ruang lingkup yang harus
terkandung dalam undang-undang dan peraturan terkait lain masih menjadi
perdebatan. Sebagai contoh BMT/KSPPS yang
kini seolah dikepung oleh undang-undang sebagai konsekuensi dari keragaman
aktivitas yang dilakukan. Mulai dari UU Lembaga Keuangan Mikro (LKM), UU Perkoperasian,
UU Wakaf, hingga UU Pengelolaan Zakat. Dengan size usaha yang tidak sebesar perseroan terbatas, ruang gerak BMT/KSPPS
seolah dibatasi dengan banyaknya regulasi. Diperlukan regulasi yang tidak
memberatkan bagi pelaku usaha sekaligus memudahkan pengawasan dan pendampingan
bagi otoritas terkait agar aktivitas lembaga keuangan mikro syariah dapat
berjalan sesuai dengan kondisi lapangan yang sangat bervariatif serta tujuan
pembangunan dan pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Peta Keuangan Mikro Syariah Indonesia ini
memberikan banyak informasi sekaligus pelajaran bagi akademisi, praktisi
keuangan, pelaku usaha di lapangan, pemerintah, asosiasi, otoritas terkait dan
masyarakat umum. Paparan peta keuangan mikro pada buku ini merupakan sebuah
hasil pengamatan langsung di lapangan dan relevansinya dengan beberapa
literatur yang mendukung. Bahkan buku ini tidak hanya menjelaskan peta keuangan
mikro syariah, tetapi juga keuangan mikro secara umum, baik syariah maupun
konvensional. Peta Keuangan Mikro Syariah di Indonesia ini merupakan rangkuman
kesuksesan yang dapat menginspirasi siapa saja untuk mereplikasi upaya inklusi
keuangan dan pengentasan kemiskinan melalui lembaga keuangan mikro. Besarnya
jumlah lembaga keuangan mikro (lebih dari 100.000 lembaga) di Indonesia yang
beroperasi relatif mandiri secara keuangan, menunjukan bahwa Indonesia layak
dijadikan sebagai laboratorium raksasa keuangan mikro di dunia. Sebagai sebuah
gerakan yang lahir dari akar rumput, lembaga keuangan mikro di Indonesia berhasil menggabungkan aktivitas sosial
dan komersial secara berdampingan dalam upaya pemberdayaan masyarakat dan
pengentasan kemiskinan.
FORM ORDER PEMBELIAN BUKU
FORM ORDER PEMBELIAN BUKU